Sabtu, 04 Juni 2016

Resensi Buku: Bidadari dari Kalkuta




Judul : Bidadari dari Kalkuta
Penulis: Wahyudin
Penerbit : Galang Press, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Agustus 2004
Tebal : xxiii + 284 halaman

Dalam nuansa trend kehidupan modern "cinta" cenderung dimaknai secara salah kaprah dan direduksi begitu rupa, cinta dipahami sebatas persoalan-persoalan asmara, romantisme dan remeh temeh gaya hidup hedonis yang membingungkan bahkan sangat absurd. Di tangan perempuan yang bertubuh mungil yang menjadi simbol perdamaian dunia karena perjuangan kemanusiaan dan pengabdiannya dalam diri orang-orang miskin, lemah, tertindas yaitu Agnes Gonxha Bojaxhiu yang dikenal oleh dunia sebagai Bunda Teresa. Cinta tidak hanya dimaknai sebatas persoalan-persoalan romantisme, asmara dan pelampiasan hawa nafsu belaka, namun cinta bagi Bunda Teresa adalah sebutir mutiara yang memiliki cahaya hikmah yang cemerlang bagi kehidupan. Ia mengilustrasikan cinta dengan "buah-buahan segala musim" yang dapat dipetik setiap orang dan setiap saat.
Cinta telah diangkat oleh Bunda Teresa kearah aras transendental dengan penyatuan diri pada Tuhan, yang kemudian diejawantahkannya dalam pelayanan dan damai yaitu dengan mendarmabaktikan diri untuk melayani Tuhan yang menyamar dalam diri orang-orang miskin, tertindas dan tersingkirkan.
Cinta dengan kearifannya telah menjadi kekuatan spiritual yang dapat merengkuh mereka yang sengsara karena tertindas dan tersingkirkan, dengan kebijaksanaannya, cinta menjadi falsafah hidup untuk menggapai kehidupan yang lebih bermakna. Dan dengan keyakinan teguhnya, cinta menjadi salah satu bentuk jawaban terhadap masalah eksistensi yang dialami manusia modern yang meaningless akibat janji industrialisasi dan modernisasi yang menjemukan dan membosankan (hal. 34).
Buku yang berjudul "Bidadari dari Kalkuta" ini memaparkan bagaimana Bunda Teresa memperagakan cinta dalam kehidupan sehari-hari dan pengembaraan cintanya dalam membebaskan dan menolong kaum lemah, miskin, tertindas dan tersingkirkan. Lewat risalah cintanya, yaitu dengan mendarma baktikan dirinya untuk melayani Tuhan lewat pembebasan diri dari ketertarikan dengan kebahagiaan yang bersifat materi dan keduniawian demi mendapatkan cinta Tuhan yang semurni-murninya.

Bunda Teresa terlahir dengan nama Agnes Gonxha Bojaxhiu di Skopje Albania, pada 26 Agustus 1910 M dari keluarga kota yang sangat religius dan saleh. Sebagai sang pendiri misionaris cinta kasih ia sangat pantas kita jadikan teladan dan cermin dalam rangka memperjuangkan cinta kasih dan perdamaian dunia. Pengabdiannya yang tidak pernah surut terhadap kaum lemah, miskin, rudin yang tersingkir dan terhina membuatnya tidak hanya cukup untuk disebut sekedar biarawati katolik saja, namun Bunda Teresa adalah "orang kudus gelandangan", "ibu kaum papa" yang menjadi pelindung kaum miskin, terhina dan tersingkirkan.

Lingkungan dan keluarga yang religius dan taat telah memberi pengaruh besar dalam perjalanan spiritual Benda Teresa, sejak kecil ia belajar banyak tentang kehidupan orang-orang suci dan misionaris. Tak heran jika di usianya yang ke 12 ia sudah merasakan panggilan Tuhan dan ia berhasrat untuk sepenuhnya menjadi milik Tuhan, yang mana hal itu direalisasikannya dengan keinginan kerasnya menjadi seorang biarawati.

Pada umur 18 tahun Bunda Teresa memutuskan untuk menjadi Biarawati dan ia bergabung dengan para suster di Bengal India kemudian ia masuk di Ordo Loreto. beberapa tahun kemudian ia melakukan perjalanan menuju Darjeeling; tempat dimana ia mau melakukan kontemplasi retret, pada tahun 1946. Sejak itulah kehidupan spiritual Bunda Teresa mengalami perubahan.
Dalam perjalannya tersebut Bunda Teresa merasa mendapat "panggilan", ia merasa bahwa Tuhan telah hadir dan berbicara dalam jiwanya dan menyampaikan "pesan suci" kepadanya untuk meninggalkan Biara dan menghendakinya menjadi miskin, dan mencintai Tuhan dalam penyamaran orang yang paling miskin dari yang miskin. Bunda Teresa menyebut peristiwa ini sebagai "panggilan dalam panggilan" sesuatu yang mirip dengan panggilan kedua, atau perintah suci untuk meninggalkan Loreto, tempat dimana saya merasa sangat berbahagia, untuk melayani kaum fakir miskin yang hidup di jalanan" (hal. 88).
Sejak itulah Bunda Teresa menjadi sang pendarmabakti dan pelayan Tuhan yang menjelma menjadi orang yang paling miskin diantara orang-orang miskin. Dan keputusan untuk menjadi seorang Biarawati yang terjun di lapangan dan hidup berdampingan dengan orang-orang miskin, terhina, terlantar dan terabaikan adalah keputusan paling sulit dan pengorbanan yang paling besar yang ia lakukan dan sangat mengelangutkan jiwanya. Sejak itulah ia menjalani kehidupan sehari-hari bersama mereka dan Bunda Teresa memberikan sentuhan kemanusiaannya baik yang berbentuk siraman spiritual maupun bantuan berupa materi, pendidikan dan kesehatan.
Setelah kurang lebih 50 tahun Bunda Teresa mendarmabaktikan dirinya untuk melayani Tuhan yang menyamar dalam diri orang yang paling miskin diantara orang-orang miskin, Bunda Teresa menghembuskan nafas terakhirnya pada 5 September 1997 di Kalkuta dalam usia 87 tahun. Berkat pengabdian dan pengorbanannya Bunda Teresa mendapatkan berbagai penghargaan terutama di bidang kemanusiaan seperti: pada tahun 1962 ia mendapatkan penghargaan sebagai "Padmi Sri" dari perdana mentri Jawaheral Nehru, 6 Januari 1962 hadiah perdamaian dari Paus Johannes xxiii. Ia juga sering mendapatkan gelar kehormatan dari berbagai Universitas terkemuka di dunia. Puncaknya pada tahun 1979 M ia meraih nobel perdamaian, dan masih banyak lagi berbagai penghargaan, hadiah dan anugerah kehormatan yang di dapatkan Bunda Teresa atas pengabdian dan perjuangannya di misionaris cinta kasih.
"Cinta" adalah kata kunci yang mendasari pilihan hidup Bunda Teresa, karena dengan cinta manusia dapat memperhatikan sesamanya dengan suka cita yang sejati, kasih kepada sesama dan damai, cinta selalu bersifat universal yang mampu mengatasi batas-batas ruang dan waktu dan melampaui segala perbedaan baik suku, ras, derajat, golongan, agama, Bangsa dan sebagainya. Bahkan cinta merupakan kekuatan spiritual yang mampu mendobrak secara radikal sekat-sekat primordial yang sering mendistorsi hubungan kemanusiaan.
Untuk itulah perjungan dan pengorbanan kemanusiaan Bunda Teresa disebut dengan "risalah cinta". Ada tiga hal akar dari kemunculan risalah cinta Bunda Teresa pertama, pengaruh keluarganya yang saleh dan religius. Kedua, situasi dan realitas kehidupan yang ada di Loreto, dari lingkungan ini melahirkan sikap bahwa iman tidak hanya cukup dinyatakan dengan doa namun juga harus dimanifestasikan dengan perbuatan kasih kepada sesama. Ketiga, "kaul" suatu komitmen teologis akan keterpanggilan kepada Tuhan.
Dari ketiga hal yang mendorong untuk melakukan pengembaraan cinta Bunda Teresa tersebut jelas bahwa cinta kasih Bunda Teresa terhadap kaum miskin, tertindas, dan menderita disebabkan karena keinginan tulusnya untuk mendapatkan cinta Tuhan yang semurni-murninya sehingga ia menjadi milik Tuhan.

Resensi Buku: Ki Hajar Dewantara Biografi Singkat 1889-1959



Judul buku : Ki Hajar Dewantara Biografi Singkat 1889-1959
Penulis : Suparto Rahardjo 
Penerbit : Garasi, Yogyakarta
Cetakan : I, September 2009
Tebal : 152 hlm

Membaca jejak Ki Hajar Dewantara penuh dengan dedikasi pada spirit kerakyatan. Meskipun keturunan ningrat, Ki Hajar bukanlah sosok yang menaruh jarak dengan kehidupan masyarakat. Sejak kecil Ki Hajar akrab dengan rakyat jelata. Atribut kebangsawanan yang melekat pada nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat pun ditinggalkan. Tepat pada tanggal 23 Februari 1928, nama itu telah berganti menjadi Ki Hajar Dewantara yang kemudian dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional.

Ki Hajar boleh dikatakan sebagai sosok yang humanis dan merakyat. Ada cerita menarik di sini. Pernah ibunda Ki Hajar berkata kepada beliau ketika pergi ke Candi Borobudur, “Anakku Suwardi, lihatlah stupa di puncak candi itu. Manis dan indah, bukan? Tapi ketahuilah Wardi, bahwa stupa itu takkan berada di puncak candi jikalau tidak ada batu-batu dasar yang mendukungnya. Itulah ibaratnya rakyat jelata, itulah gambaran para budak dan hamba sahaya para raja. Oleh sebab itu, jikalau Tuhan mentakdirkan dirimu menjadi raja, janganlah kau lupa kepada rakyat jelata yang menaikkan dirimu ke atas puncak dari segala puncak kemegahan kerajaan warisan nenek moyangmu. Cintailah dan hargailah sesamamu, terutama rakyatmu yang menderita dan memerlukan uluran tanganmu.” Kata-kata ibunda Ki Hajar ini menjadi petuah bijak yang dihayati Ki Hajar dalam perjalanan hidupnya. Kepribadian Ki Hajar menjadi cermin betapa perhatian dan kepedulian terhadap rakyat tak boleh dilalaikan.

Sikap dan laku kepedulian terhadap rakyat kemudian mengilhami Ki Hajar bersama sahabat-sahabatnya untuk mendirikan perguruan nasional Taman Siswa (Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa) pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Lewat Taman Siswa, Ki Hajar berkehendak mendidik rakyat agar mampu mandiri. Pendidikan bagi rakyat adalah niscaya untuk mewujudkan cita-cita memerdekakan diri dari ketertindasan. Melalui metode among, Tamansiswa meletakkan pendidikan sebagai alat dan syarat untuk anak-anak hidup sendiri, mandiri, dan berguna bagi masyarakat. Pendidikan yang diajarkan adalah menegakkan jiwa anak-anak sebagai bangsa, membimbing anak-anak menjadi manusia yang bisa hidup dengan kecakapan dan kepandaiannnya sendiri, menciptakan manusia yang berguna bagi diri sendiri dan masyarakat (hlm. 56-57).

Buku yang ditulis Suparto Rahardjo ini memang berupaya menceritakan perjalanan Ki Hajar. Membuka buku ini, kita menjumpai sekilas jejak kehidupan dan aktivitas pergerakan Ki Hajar. Selain merakyat dan humanis, kepribadian Ki Hajar diuraikan sebagai sosok yang keras tapi tidak kasar, nasionalis sejati, pemimpin yang konsisten, berani dan setia, dan bersahaja.

Tak lupa pula pemikiran Ki Hajar terkait aspek pendidikan disajikan dalam buku ini. Membaca buku ini, kita diajak menyelami pemikiran Ki Hajar dalam usaha pendidikan anak-anak bangsa. Meskipun berupa riwayat singkat, buku ini tetap menarik. Ada sosok besar yang pernah dilahirkan di negeri ini yang mungkin kita lupakan. Kita hanya menghargai beliau dengan sebutan Bapak Pendidikan Nasional semata, namun pemikiran pendidikan beliau alpa dikaji dan ditelaah. Lewat riwayat singkat ini, kita menelusuri laku hidup Ki Hajar.